Cerpen: “Rindu yang Tak Sempat Pulang
Cerpen: “Rindu yang Tak Sempat Pulang
Angin subuh menyapu lembut jendela rumah tua itu. Di dalamnya, seorang perempuan bernama Liana terbangun oleh bunyi ketukan kecil di genting. Hujan turun perlahan. Sama seperti pagi-pagi lain yang selalu mengingatkannya pada seseorang: Arga.
Sudah **tiga tahun** lelaki itu pergi merantau, meninggalkan sebuah janji yang belum ditepati: *“Aku pulang sebelum hujan pertama tiba.”*
Namun hujan sudah datang ratusan kali. Dan Liana masih menunggu.
---
## **Pertemuan yang Mengubah Segalanya**
Liana dan Arga pertama kali bertemu di sebuah warung kopi kecil yang terletak di pinggir desa. Arga, pemuda perantau yang sedang mencari pekerjaan, dan Liana, gadis penjaga warung yang selalu menyuguhkan senyum hangat.
Mereka tidak pernah berniat jatuh cinta.
Tapi cinta sering kali datang dari hal kecil.
Seperti tawa Arga yang selalu muncul ketika Liana salah menuangkan gula.
Seperti cara Liana menatap diam-diam saat Arga sibuk membaca koran bekas yang terpaku di tembok.
Hari demi hari, keduanya terbiasa saling menunggu. Tanpa sadar, warung kopi itu menjadi saksi tumbuhnya perasaan yang pelan-pelan mengakar.
---
## **Kepergian Arga**
Suatu sore, Arga menerima surat panggilan kerja dari kota jauh. Kesempatan itu jarang datang. Ia harus pergi.
“Liana… aku titip satu janji,” ucap Arga sambil menggenggam tangan gadis itu. “Aku pulang sebelum hujan pertama.”
Liana mencoba tersenyum, meski hatinya mulai retak.
“Jangan lama-lama.”
Arga mengangguk, tapi di hatinya ia tahu… perjalanan hidup tidak selalu sesederhana itu.
---
## **Menunggu yang Tak Pernah Selesai**
Hari-hari berlalu. Minggu menjadi bulan. Bulan menjadi tahun.
Liana tetap menjaga warung kopi itu. Membuang hari-harinya menatap jalan panjang yang menuju terminal, berharap suatu pagi Arga muncul membawa ransel dan senyum yang sama.
Tapi bayangan itu tak pernah datang.
Setiap kali langit mendung, Liana memejamkan mata, ingin percaya bahwa hujan akan membawa kabar pulang. Namun yang datang hanya rintik air, bukan sosok yang ia rindukan.
---
## **Surat yang Tertunda**
Hingga suatu malam, seorang tukang pos mengetuk pintu rumahnya.
“Ini surat untukmu,” katanya.
Tulisan di amplopnya membuat tangan Liana bergetar—itu tulisan Arga.
Dengan perasaan campur aduk, ia membukanya.
Isinya hanya satu halaman sederhana:
> “Liana, maaf. Aku terlambat. Hidup memaksaku berjalan lebih jauh dari yang kubayangkan. Tapi setiap pagi, setiap hujan, namamulah yang membuatku bertahan.
>
> Aku tidak tahu kapan pulang. Tapi jangan menunggu dalam diam. Jika suatu hari dunia mempertemukan kita lagi, aku ingin kamu bahagia.
>
> — Arga”
Surat itu membuat Liana menangis, bukan karena kecewa, tetapi karena cinta kadang berbentuk **keikhlasan untuk menerima ketidakhadiran**.
---
## **Hujan Terakhir**
Tahun keempat tiba. Pada suatu pagi yang hening, hujan turun lagi. Namun kali ini berbeda: tidak menyedihkan, tidak menyakitkan.
Liana berdiri di depan warung, memandang langit tanpa sesak di dada.
Ia telah merelakan seseorang yang tak sempat pulang.
Tiba-tiba, di ujung jalan, seorang pria berjalan tertatih membawa koper—basah, lelah, namun tersenyum.
Arga.
“Hujannya telat,” katanya pelan.
Liana menatapnya dengan mata berkaca-kaca, lalu menjawab pelan, “Tidak. Kamu yang pulang tepat waktu.”
Hujan pagi itu menjadi saksi dua hati yang akhirnya menemukan jalannya kembali. Bukan karena janji yang dipenuhi, tetapi karena cinta yang bertahan melewati ribuan hari penantian.
---
Post a Comment for " Cerpen: “Rindu yang Tak Sempat Pulang"